Minggu, Maret 28, 2010

Kisah si Gumbak dan Palu Godam

Jingga mulai surut, bergerigi bibir awan berwarna lembayung dan angin-pun pelan menampi debur ombak, menghitung senja melangkah pulang. Pantai Daya tampak terbujur kaku tanpa sehelai dedaun penghias, pasca 'bakat raya' menggergaji lima tahun silam.

Suaranya berat, bak pisau menusuk di tenggorokan. Adalah Gumbak, lelaki paruh baya berkopiah lusuh, berselendang sarung kotak-kotak hijau hadiah anak sulungnya yang raib dalam prahara. Memulai kisahnya.

Konon, seorang karibnya, si Phong, bersama-sama mencari kepiting bangka usai bel sekolah. Kerap riuh di tepi dangau kala kerbau mereka enggan masuk karena kandang nyaris terbakar api.

Hari berlalu dan tahun-pun melesat jauh, Gumbak remaja mulai mencari jati diri.

Awal November 1999, setiap sudut kampung ramai bergunjing tentang hal baru. Dia hanya menghabiskan setiap detik waktu bersama Phong, tanpa mengerti langit akan runtuh, kala itu.

Ideologi baru mereka lahap, ikhlas tanpa pamrih meski akhirnya harus 'bertapa' di ujung kampung karena Herder belang mengintai setiap waktu sela.

Lima tahun bertahan, satu persatu kawannya bersimbah darah diterjang gigi Herder, meski adakala sang gigi besi juga terjerembab diterjang panah 'buluh' buatan Gumbak.

24 Desember 2004, jarum jam berdetak di angka delapan, bumi 'gemerutuk' kencang tanpa henti. Air rawa tempat mereka wudzhu' bergelora hingga membasahi tikar lapuk alas tidur. Karang Mok berderak riuh, "dunia akan kiamat", ujar Phong sambil merapal ayat Qurshi, bersedekap.

Sejurus kemudian, Zainon mengumandangkan azan di pergelangan batang kelapa, tangan kirinya menunjuk ke arah laut. Matanya nanar berurai air mata dan suara lengkingnya, berseru, "ie laot ji'ek, kiamat katroh" (air laut naik, kiamat telah datang). Asma Allah seketika menggema didalam gemuruh ombak menerjang, mengikis setiap inchi kulit bumi.

to be continued)

Kamis, Februari 05, 2009

JELAJAH RUTE ‘MERAH’

Oleh: Chaideer Mahyuddin

Tanah masih lembab karena hujan sedikit gerah setelah semalam mengguyur sebagian bumi Iskandar Muda bersemayam. Satu persatu pesepeda dengan kostum khasnya mulai berdatangan dengan senyum dan mata sembab. Pesepeda mulai melahap sisa nasi gurih kedai Pak Rasyid di depan Mesjid Baiturrahman, Banda Aceh, sesekali melihat tangan, memastikan waktu tidak cepat berlalu.

Sambil menunggu, sepeda yang terparkir mulai dinaikkan ke dalam mobil. Ada perasaan gundah, “Kita duduk di mana ya?’ Ujar David pagi itu memakai baju kuning. Setelah semua sepeda disusun rapi, pesepeda duduk berhadapan di dalam box mobil dan sebagian lagi berselonjor sambil tersenyum melambai tangan kepada pengguna jalan lainnya.

Huhh… setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, tantangan mulai terasa saat roda mobil berhenti titik awal di Krueng Jreu Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Pemandangan kontras terbentang di depan mata, penambangan lokasi galian C yang bersebelahan dengan Yon Zipur 112 tak tergubris oleh kedatangan tamu ‘asing’. Cek kelengkapan sepeda dan menghitung jumlah tim ala pramuka adalah hal wajib,

Perjalanan jelajah rute Krueng Jreu-Waduk Keuliling-Keumireu berjumlah 27 orang, dengan semangat juang tinggi pedal sepeda dikayuh melintasi bentangan irigasi Krueng Jreu. Pagi itu airnya keruh akibat hujan. Konon, dulu airnya selalu jernih namun akibat maraknya ilegal logging menyebabkan daya serap air berkurang dan mengikiskan humus tanah.

Jalan setapak berdinding semak belukar membentang hampir tiga kilometer, memaksa pesepeda harus waspada dan jeli menghindar akar-akar menjuntai yang bisa menusuk mata. Menambah kecepatan saling mendahului di antara cipratan air adalah hal seru di sepanjang perjalanan, meskipun beberapa kali harus mengangkat sepeda melewati pagar pembatas tanah penduduk.

Setelah menyeberang sungai kecil berbatas pagar kawat berduri di kaki bukit Krueng Jreu, pesepeda beristirahat sejenak menyaksikan dua pesepeda, Yoga dan Awal melakukan terjun bebas di anak sungai. Dan syukur, kedua penggila downhill tersebut tidak mengalami kecelakaan.

Cuaca mendung terus memayungi pesepeda melintasi tanjakan di jalan setapak bekas jejak kaki kerbau, kotorannya memenuhi setiap lubang jalan. Sering kali Pesepeda harus berjibaku menghindar jalur ekstrim. Akhirnya, ketinggian bukit Keumireu terlampaui juga. Mata dimanjakan oleh hamparan bukit tandus dan gersang, kabut tipis tampak menyembunyikan pemukiman penduduk yang kontras di antara asap hitam penggilingan material galian C. Tragis memang!

Pepohonan muda tumbuh jarang dan hamparan rumput bak permadani membentang di manfaatkan pesepeda untuk berteduh, meneguk tetesan air untuk menghela haus dari kerongkongan. Gundukan dan undak tanah setinggi setengah meter di gunakan para pesepeda menguji adrenalin-nya, melakukan stand jumping, parahnya beberapa orang jatuh terjerembab meskipun tidak mengalami cedera.

Jarum jam sudah merangkak ke angka 11.00 memaksa pesepeda melanjutkan perjalanan. Di depan, turunan tajam berbatu menunggu, para penggila downhill tersenyum lebar bak sedang mendapatkan lotre berhadiah mobil. Yihuuiiiii.............mereka kegirangan sambil menuruni sepeda dan beberapa kali harus mengulang adegan tersebut. ‘Ini bonus, wak!’ seru Tardi, pesepeda muda dari Aceh Bicycle Community.

Angin berhembus sepoi-sepoi menggiring mata menatap waduk bening, tujuan utama akhirnya sampai juga. Waduk Keuliling berbatas penyangga batu, dua bangunan tempat istirahat terlihat indah di antara refleksi air yang hening dan sejuk, pemandangan luar biasa, mampu meruntuhkan kelelahan yang mendera di sepanjang perjalanan. Beberapa pesepeda berdecak kagum memuji keagungan Illahi.

Perjalanan diteruskan dengan berbelok ke arah utara melewati persawahan penduduk, jalan setapak masih belum asing saat memasuki kebun rambutan. Sayangnya panennya dua hari yang lalu. Di sini, navigator kehilangan kendali menyebabkan enam pesepeda salah rute akibatnya mereka kebingungan saat menyaksikan jalan akhir berbatas dengan sungai yang lebarnya sekitar 15 meter. ‘gimana menyeberanginya ya? Pertanyaan yang tak terjawab dengan mimik memelas para pesepeda.

Beruntung tim pendukung navigator menyusul. Kebun pisang yang padat, di kiri kanan terlihat kebun penduduk dan sisa panen rambutan. ‘meu’ah beuh, kamoe cok boh rambot saboh’ (maaf ya, kami ambil rambutannya) pekik seorang pesepeda saat memetik beberapa rambutan. Suatu hari, bila melewati rute ini lagi, pesepeda berjanji akan minta maaf kepada pemilik kebun. Wajib lho!

Kegirangan berlanjut saat melewati jembatan gantung di desa Kruweng kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, terlihat wajah bersahabat ibu-ibu sedang mencuci di bantaran sungai. Gigi putihnya selaksa pendamai hati, yang telah lama hilang akibat konflik berkepanjangan di bumi Rencong. Bening mata anak-anak yang ramah menitipkan pesan damai agar terus tumbuh untuk masa depannya.

‘Jak lom keunoe beuh!’ (datang ke sini lagi ya!), pinta Raimunah, ibu rumah tangga sambil menggendong balitanya. Sungguh hal luar biasa, pesepeda bisa menyatu dalam masyarakat pedalaman tersebut sekaligus mengampanyekan untuk bersepeda wujud kita hidup sehat dan pentingnya menjaga lingkungan demi kelangsungan hidup dunia yang mulai renta.

Setengah jam berlalu, perjalanan pulang dilanjutkan melintasi pohon asam jawa di sepanjang jalan Cot Kuta Glie, Keumireu. Seorang ibu berbaju ungu tampak gelisah di bawahnya, mungkin dia sedang menanti angkutan yang langka atau menunggu seseorang yang berjanji bertemu dengannya ditempat itu. Entahlah!

Cot Kuta Glie, punya catatan sejarah panjang. Di tanah tersebut pernah berdiri satu benteng muslimin yang gagah saat mempertaruhkan nyawanya melawan pemerintah kolonial Belanda. Ribuan syuhada syahid disana. Sungguh perjalanan mengagumkan, menjelajah rute ‘merah’ mampu meregangkan kepenatan karena kesibukan beraktifitas sekaligus mempererat tali silaturahmi yang terputus beberapa saat silam.

Keep Gowes!
Salam PEDAL

Kunjungi website http://www.pedalatjeh.com

Selasa, September 02, 2008

Perjalanan Akhir Pekan

Pucok Krueng, 31 Agustus 2008. Lalu-lalang kenderaan hilir mudik di sepanjang jalan, cekikin anak-anak kecil setelah mencicipi kuah lezat ibunya tersenyum di depan pintu rumah. Huiiihhhh….hari Meugang bro!. Aroma wewangian berhembus di sela-sela deru ban mencengkeram jalan berbatu tak menghalangi para pesepeda mengayuh sepedanya menyeruak belantara Mata Ie yang rimbun namun hangat pagi itu. Sesekali melihat jam, merapal titik keringat membasahi ubun-ubun dan pangkal lengan serta menghitung tanjakan dan menyelisik awal turunan panjang merupakan bonus dan medali mahal, harus di nikmati.

Satu jam berlalu, tiba jua di persimpangan Kampung Naga, kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Namun naas, Rudi, 31 tahun harus merawat sepeda kesayangannya akibat kecepatan laju di atas bebatuan menyebabkan ‘as’ belakang harus dikencangin. Tegukan air terakhir dari botol mampu menghela dahaga keluar dari kerongkongan dan kembali memulai mengayuh melibas jalanan becek.

Gemerincing air bersiul-siul diantara dedaunan pinggir jalan membuat sejumlah pesepeda menambah kecepatan, terbayang dinginnya air dari mata air Pucok Krueng mampu meruntuhkan kelelahan yang mendera sepanjang perjalanan. Husssssss…..pemandangan itu akhirnya ada didepan mata, Romi,30 tahun tanpa pikir panjang menyandarkan sepeda kesayangannya dan langsung menyeburkan diri ke kawah hijau. Bruurrrr…’dingin banget’ ujarnya cekikikan karena lupa melepas sarung tangan.

Hampir dua jam, canda-tawa pesepeda memecah keheningan bukit terjal berkawah air segar ini, tebing tinggi kokoh bak pembatas adalah idola para climbers untuk belajar dan melatih fisiknya itu tak bergeming. Melepas penat menyongsong bulan Ramadhan di esok hari dengan bersepeda memiliki sensasi tersendiri, selain melatih fisik dan ketahanan tubuh namun juga mendekatkan diri dengan Keagungan Sang Pencipta, Allah SWT. Minggu yang hangat menghantarkan pesepeda kembali ke rumah dan saling bertukar kata maaf dan melempar senyum “Selamat menjalankan ibadah puasa, kawan!”

(courtesy by: http://pedalatjeh.blogspot.com)