Kamis, Februari 05, 2009

JELAJAH RUTE ‘MERAH’

Oleh: Chaideer Mahyuddin

Tanah masih lembab karena hujan sedikit gerah setelah semalam mengguyur sebagian bumi Iskandar Muda bersemayam. Satu persatu pesepeda dengan kostum khasnya mulai berdatangan dengan senyum dan mata sembab. Pesepeda mulai melahap sisa nasi gurih kedai Pak Rasyid di depan Mesjid Baiturrahman, Banda Aceh, sesekali melihat tangan, memastikan waktu tidak cepat berlalu.

Sambil menunggu, sepeda yang terparkir mulai dinaikkan ke dalam mobil. Ada perasaan gundah, “Kita duduk di mana ya?’ Ujar David pagi itu memakai baju kuning. Setelah semua sepeda disusun rapi, pesepeda duduk berhadapan di dalam box mobil dan sebagian lagi berselonjor sambil tersenyum melambai tangan kepada pengguna jalan lainnya.

Huhh… setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, tantangan mulai terasa saat roda mobil berhenti titik awal di Krueng Jreu Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Pemandangan kontras terbentang di depan mata, penambangan lokasi galian C yang bersebelahan dengan Yon Zipur 112 tak tergubris oleh kedatangan tamu ‘asing’. Cek kelengkapan sepeda dan menghitung jumlah tim ala pramuka adalah hal wajib,

Perjalanan jelajah rute Krueng Jreu-Waduk Keuliling-Keumireu berjumlah 27 orang, dengan semangat juang tinggi pedal sepeda dikayuh melintasi bentangan irigasi Krueng Jreu. Pagi itu airnya keruh akibat hujan. Konon, dulu airnya selalu jernih namun akibat maraknya ilegal logging menyebabkan daya serap air berkurang dan mengikiskan humus tanah.

Jalan setapak berdinding semak belukar membentang hampir tiga kilometer, memaksa pesepeda harus waspada dan jeli menghindar akar-akar menjuntai yang bisa menusuk mata. Menambah kecepatan saling mendahului di antara cipratan air adalah hal seru di sepanjang perjalanan, meskipun beberapa kali harus mengangkat sepeda melewati pagar pembatas tanah penduduk.

Setelah menyeberang sungai kecil berbatas pagar kawat berduri di kaki bukit Krueng Jreu, pesepeda beristirahat sejenak menyaksikan dua pesepeda, Yoga dan Awal melakukan terjun bebas di anak sungai. Dan syukur, kedua penggila downhill tersebut tidak mengalami kecelakaan.

Cuaca mendung terus memayungi pesepeda melintasi tanjakan di jalan setapak bekas jejak kaki kerbau, kotorannya memenuhi setiap lubang jalan. Sering kali Pesepeda harus berjibaku menghindar jalur ekstrim. Akhirnya, ketinggian bukit Keumireu terlampaui juga. Mata dimanjakan oleh hamparan bukit tandus dan gersang, kabut tipis tampak menyembunyikan pemukiman penduduk yang kontras di antara asap hitam penggilingan material galian C. Tragis memang!

Pepohonan muda tumbuh jarang dan hamparan rumput bak permadani membentang di manfaatkan pesepeda untuk berteduh, meneguk tetesan air untuk menghela haus dari kerongkongan. Gundukan dan undak tanah setinggi setengah meter di gunakan para pesepeda menguji adrenalin-nya, melakukan stand jumping, parahnya beberapa orang jatuh terjerembab meskipun tidak mengalami cedera.

Jarum jam sudah merangkak ke angka 11.00 memaksa pesepeda melanjutkan perjalanan. Di depan, turunan tajam berbatu menunggu, para penggila downhill tersenyum lebar bak sedang mendapatkan lotre berhadiah mobil. Yihuuiiiii.............mereka kegirangan sambil menuruni sepeda dan beberapa kali harus mengulang adegan tersebut. ‘Ini bonus, wak!’ seru Tardi, pesepeda muda dari Aceh Bicycle Community.

Angin berhembus sepoi-sepoi menggiring mata menatap waduk bening, tujuan utama akhirnya sampai juga. Waduk Keuliling berbatas penyangga batu, dua bangunan tempat istirahat terlihat indah di antara refleksi air yang hening dan sejuk, pemandangan luar biasa, mampu meruntuhkan kelelahan yang mendera di sepanjang perjalanan. Beberapa pesepeda berdecak kagum memuji keagungan Illahi.

Perjalanan diteruskan dengan berbelok ke arah utara melewati persawahan penduduk, jalan setapak masih belum asing saat memasuki kebun rambutan. Sayangnya panennya dua hari yang lalu. Di sini, navigator kehilangan kendali menyebabkan enam pesepeda salah rute akibatnya mereka kebingungan saat menyaksikan jalan akhir berbatas dengan sungai yang lebarnya sekitar 15 meter. ‘gimana menyeberanginya ya? Pertanyaan yang tak terjawab dengan mimik memelas para pesepeda.

Beruntung tim pendukung navigator menyusul. Kebun pisang yang padat, di kiri kanan terlihat kebun penduduk dan sisa panen rambutan. ‘meu’ah beuh, kamoe cok boh rambot saboh’ (maaf ya, kami ambil rambutannya) pekik seorang pesepeda saat memetik beberapa rambutan. Suatu hari, bila melewati rute ini lagi, pesepeda berjanji akan minta maaf kepada pemilik kebun. Wajib lho!

Kegirangan berlanjut saat melewati jembatan gantung di desa Kruweng kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, terlihat wajah bersahabat ibu-ibu sedang mencuci di bantaran sungai. Gigi putihnya selaksa pendamai hati, yang telah lama hilang akibat konflik berkepanjangan di bumi Rencong. Bening mata anak-anak yang ramah menitipkan pesan damai agar terus tumbuh untuk masa depannya.

‘Jak lom keunoe beuh!’ (datang ke sini lagi ya!), pinta Raimunah, ibu rumah tangga sambil menggendong balitanya. Sungguh hal luar biasa, pesepeda bisa menyatu dalam masyarakat pedalaman tersebut sekaligus mengampanyekan untuk bersepeda wujud kita hidup sehat dan pentingnya menjaga lingkungan demi kelangsungan hidup dunia yang mulai renta.

Setengah jam berlalu, perjalanan pulang dilanjutkan melintasi pohon asam jawa di sepanjang jalan Cot Kuta Glie, Keumireu. Seorang ibu berbaju ungu tampak gelisah di bawahnya, mungkin dia sedang menanti angkutan yang langka atau menunggu seseorang yang berjanji bertemu dengannya ditempat itu. Entahlah!

Cot Kuta Glie, punya catatan sejarah panjang. Di tanah tersebut pernah berdiri satu benteng muslimin yang gagah saat mempertaruhkan nyawanya melawan pemerintah kolonial Belanda. Ribuan syuhada syahid disana. Sungguh perjalanan mengagumkan, menjelajah rute ‘merah’ mampu meregangkan kepenatan karena kesibukan beraktifitas sekaligus mempererat tali silaturahmi yang terputus beberapa saat silam.

Keep Gowes!
Salam PEDAL

Kunjungi website http://www.pedalatjeh.com